Jumat, 25 November 2016

PERJALANAN NYANTRI

PENAKU BERCERITA
Perjalanan Nyantri
Memory, aku tuliskan cerita ini. Wahai penaku, katakanlah sejujurnya tentangku. Jangan ada dusta antara kita.O..ya, sebelum membaca seluruh, ada aturan main ang mesti kita sepakati. Diantarnya nama sebenarnya orang ini adalah Marlon. Tapi kita menggunakan nama samaran Dadab untuk menghindari hal-hal ang tidak diinginkan.
Baiklah cerita kita mulai.“Wong iku kudu tawakal. Kerja sekuat tenaga, hasilnya terserah Gusti Allah,” begitu kata Pak Kyai dalam ngaji. Okelah kalau begitu, kataku dalam hati. Berarti kerja sebisanya terus hasilya banyak atau sedikit tidak penting. Tak jadi soal.
Sekian tahun aku bekerja di satu tempat di Kota Gede. Sebagai seorang santri , tak akan pernah aku lupakan apa pun yang diuraikan dalam ngaji. Tawakal. Nah, dengan gaji kerjaku, aku selalu merasa cukup meskipun hanya super sedikit. Asal tahu gajiku untuk membeli pulsa 5000 dan rokok beberapa bungkus sering dan tak pernah cukup. Malah belum pernah aku bisa membeli sandal jepit dari hasilkerjaku. Tapi aku adalah santri angkatan pertama  karenanya aku selalu bersyukur dengan gaji itu, alhamdulilah.
Dalam riwayat lain, semasa awal-awal mondok, aku termasuk santrikasilin, keset mania. Wegahan. Aku ingat, pas ngaji pagi Pak Kyai ngendiko, “Si Dadab ini kalo di pondok malesan to? Tidak pernah bersih-bersih, tidak pernah membantu yang lain?”“Iya Pak.” Jawab teman-teman.“Jangan begitu, Dab! Diilangi malese kuwi!”“njih Pak,” jawabku enteng.
Dalam riwayat satunya lagi, meski dalam hatiku berkata, malas bagaimana to? Wong aku juga nyuci gelas, masak nasi, iya, nyapu juga iya. Tapi tak apalah asal kerjakan apa dawuh Pak Kyai.
Dan selang beberapa waktu, tibalah kita di padang hijau nan landai dan luas. Semak-semak membentang. Bunga-bunga bersemi warna-warni, bermahkota embun di pagi hari. Bintang-bintang bertabur kala malam telah tiba. Mengalir pula sungai-sungai madu, segala buahpun tersedia di sana. Wis, kepanjangan! Baiknya kita kembali ke pokok cerita.
Di waktu itu Pak Kyai membuka ngajiNahwu Shorof. Kita akan memulai cerita dari awalnya.“Dol, beli kitab Tashrifan di jejeran. Kita mulai ngaji Nahwu Shorof nanti sore,” dawuh Pak Kyai pada Kang Doli, sekarang bakul HP.
“Iya, Pak,”jawab Kang Doli.
Sepulang sekolah, Kang Doli pun langsung membeli kitab. Sore harinya, sebelum asar Pak Kyai dan keluarganya rawuh di pondokan (waktu itu rumah Pak Kyai dan asrama santri masih terpisah. Adapun ngajinya di rumah Pak Kyai). Karena teman-teman belum pulang, Pak Kyai berpesan kepadaku, “Dab (Dadab:red), nanti bilang pada teman-temanmu, ngajinya nanti dimulai jam sekian.”“Nggih,Pak,” jawabku.
Betul, sepulang teman-teman dari kerja aku sampaikan, “Coy, ngajine mulai jam setengah limo!”
“Oce!”
Sesampai rumah Pak Kyai, beliau malah ngendiko, “lha kok lagi do mangkat? Wis tak enteni ket mau je".
We lhadalah! Seingatku tadi le ngendiko setengah limo. Piye iki? Ya wis lah kupingku lagi eror. Tapi itu tak menjadi masalah, terbukti aku menjadi santri yang yang paling top dalam nahwu. Meski dalam shorof menjadi tertawaan teman-teman karena falsnya suaraku. Pendeknya aku menjadi santri paling pinter soal nahwu dan membaca kitab.
Aku berharap semua sepakat, bahwa menjadi santri kebanggaan Pak Kyai adalah satu kebahagiaan yang besar. Apa lagi dibubuhi pujian dan sanjungan ketika ngaji. Semua orangpun kagum denganku. Santri teladan, Man! Pendek kata, aku adalah bintang kejora di antara teman-teman. Rasanya: amboy, sedab betul..!
Keadaan seperti itu aku alami selama beberapa tahun. Dan perlahan-lahan prestasiku mulai menurun. Saat itulah aku mulai gelisah. Segala cara, daya upaya dan usaha aku lakukan demi mendongkrak prestasiku. Semagat  45 kukobarkan (kukorbankan). Tak peduli hujan badai menghalang, terik panas bukan rintangan. Tapi hasilnya kok nol?! Aduh..singkong diragiin, capek deh! Tak apa, mulai lagi. Siap, bersedia, yukk! Melompat lebih tinggi. Namun apa yang kerap terjadi? Hasilnya nihil. Sedih aku. Sudah ngajinya sering kena marah, kerjakan ini tidak betul, kerjakan yang itu tidak pecus. Ah, aku ini bagaimana sih? Tolol amat. Terlebih saat aku akan menikah (tapi ahirnya aku bercerai saat anakku berumur satu tahun, bapak kangen kamu, anakku), banyak menuai sindiran dari Pak Kyai. Tambah pusing aku. Aku ini harus bagaimana? Ahirnya, saking pusingnya aku mendelik (dari kata delik= ngumpet, sembunyi) dari teman-teman. Sampai-sampai Kang Rus harus bolak-balik datang ke rumah mengajak aku nongol lagi dalam ngaji.
Ada cerita tentang kedatangan kang Rus ini. Suatu hari kang Rus bilang, “besok ngaji jam setengah wolu tak ampiri yo?!”
Karena aku sudah jengkel dengan bujuk rayu Kang Rus, aku malah menjawab,” ojo sesuk aku rung iso.”
Tapi kang Rus lebih jengkel dengan kemalasanku, pagi harinya dia mau nekat menjemputku. Aku yang sudah tau mau diampiri, tak kurang akal. Jam tujuh aku buru-buru pergi meninggalkan rumah. Benar Kang Rus datang ke rumah. Sokor ra pethuk aku!
Selamat, selamat, selamat, kataku dalam hati sambil mengelus dada, lega.
Diceritakan, bahwa orang-orang mengira bahwa aku sedang bersedih karena berpisah dengan istri (sedih iblisi, syaithoni, dan nafsui) atau dalam bahasa jasmani disebut sedih hewani dan mbocahi. Tapi sebenarnya aku tidak berangkat ngaji karena malu, dan merasa malu-maluin guru huhuhu.
Betapa tidak, bukankah sebagai santri harus bisa membanggakan Pak Kyai seperti dulu itu lho. Dan saya selalu gagal. Siapa tidak stress? Siapa tidak bingung? Apa tidak baiknya mendelik saja? Ah, aku seperti dalam lorong yang gelap, terbenam dalam kepekatan, terperosok dalam lubang yang terlalu dalam, tiada aku temukan satu jua jendela di sana. Modar!!

Nah, dari cerita ini, silakan Anda simpulkan sendiri.

By: John Marlon, Namberan, Karangasem, Paliyan, Gunungkidul.